Sabtu, 25 April 2009

Nikmati Kekinian

Seorang pelajar Zen melintasi sebuah hutan belantara dan tanpa disadari ia diikuti seekor harimau yang siap menerkamnya. ia berlari sekencang mungkin. Setibanya di tepi jurang yang curam, ia meraih sebuah akar besar di sisi jurang. Ia kemudian berayun-ayun dengan harapan dapat selamat dari terkaman harimau buas tersebut. Ia tidak punya pilihan lain, kecuali bertahan di sana. Harimau tadi terus mengendus ke bawah.

Dengan rasa takut luar biasa, ia melihat ke bawah jurang dan ketakutannya semakin menjadi-jadi ketika melihat bahwa di bawah sana seekor harimau lain pun tengah menunggu dengan mulut ternganga siap menerkam.

Ia tetap berpegang kuat pada akar yang menahan tubuhnya. Malang nasibnya, dua ekor tikus mulai mengerat akar yang digelayutinya secara perlahan. Dalam kepanikannya, dilihatnya sebatang pohon stroberi di dekatnya. Karena rasa hausnya, secara Instingtif dia meraih pohon tersebut dan memetik buahnya. Dia menikmati buah stroberi yang begitu manis dan lupa akan bahaya di atas dan di bawah yang tengah menanti.

pesan : hari esok tidaklah nyata, hari kemarin telah berlalu, Karunia terbesar manusia yang pernah dimiliki sesungguhnya adalah sekarang, semuanya nyata di hadapan mata

kisah ini dikutip dari buku "Unleash Your Inner Power with Zen"
Selanjutnya...

Selasa, 14 April 2009

KAKEK BERUSIA 4 TAHUN

Alkisah seorang kakek tua yang telah beruban dan gigi yang tanggal. Suatu hari, ada seseorang bertanya kepadanya, "kakek, berapa usia anda sekarang?"
" empat tahun," jawab sang kakek.

"jangan bercanda, kakek sudah tampak begitu tua penuh dengan uban, bagaimana mungkin bisa berusia 4 tahun. Menurut saya, usia kakek hampir memasuki 80 tahun." Jawab Orang itu.

"Ah, sungguh disesalkan! kendati usia hampir memasuki 80 tahun, tapi selama tenggang waktu yang begitu panjang ini, saya lewati penuh kehampaan. selama 4 tahun belakangan ini, saya baru menginsafi hukum kebenaran dan terpanggil di dalam membina diri dengan melayani penderitaan umat. 4 tahun ini saya hidup bermakna dan berbahagia, maka saya katakan usiaku baru 4 tahun," jawab sang kakek.

PENJELASAN:
Manusia sekalipun hidup dalam usia panjang, tapi penuh kehampaan, bukankah lebih baik seperti seorang kakek tua yang berusia hampir 80 tahun, tapi hidup bermakna untuk 4 tahun :).

Sumber: http://bankai-getsuga.blogspot.com/2013/07/kakek-yang-berusia-4-tahun.html
Selanjutnya...

Minggu, 12 April 2009

Kisah Kupu-kupu

Suatu ketika, terdapat seorang pemuda di tepian telaga. Ia tampak termenung. Tatapan matanya kosong, menatap hamparan air di depannya. Seluruh penjuru mata angin telah di lewatinya, namun tak ada satupun titik yang membuatnya puas. Kekosongan makin senyap, sampai ada suara yang menyapanya.

"Sedang apa kau disini anak muda ?", tanya seorang kakek tua : "Apa yang kau risaukan ?"

Anak muda itu menoleh ke samping : "Aku lelah Pak Tua.. Telah berkilo-kilo jarak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak juga kutemukan rasa itu dalam diriku. Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemana kah aku harus mencarinya ? Bilakah kutemukan rasa itu ?" Kakek Tua duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. Di pandangnya wajah lelah di depannya. Lalu, ia mulai bicara : "Di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku. Mereka berpandangan. "Ya...tangkaplah seekor kupu-kupu buatku dengan tanganmu", sang Kakek mengulang kalimatnya lagi.

Perlahan pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tak berapa lama, dijumpainya taman itu. Taman yang yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang berterbangan disana. Sang kakek, melihat dari kejauhan, memperhatikan tingkah yang diperbuat pemuda yang sedang gelisah itu.

Anak muda itu mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! sasaran itu luput. Di kejarnya kupu-kupu itu ke arah lain. Ia tak mau kehilangan buruan. Namun lagi-lagi. Hap!. Ia gagal. Ia mulai berlari tak beraturan. Diterjangnya sana-sini. Ditabraknya rerumputan dan tanaman untuk mendapatkan kupu-kupu itu. Diterobosnya semak dan perdu di sana. Gerakannya semakin liar. Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat ditangkap. Sang pemuda mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik-turun dengan cepat. Sampai akhirnya ada teriakan : "Berhenti dulu anak muda. Istirahatlah". Tampak sang Kakek yang berjalan perlahan. Tapi lihatlah, ada sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sisi kanan-kiri kakek itu. Mereka terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu.

"Begitukah caramu mengejar kebahagiaan ? Berlari dan menerjang ? Menabrak-nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa saja yang kau rusak ?", sang Kakek menatap pemuda itu : "Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu. Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kau genggam, atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari kemana-mana.
Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri".

Kakek Tua itu mengangkat tangannya. Hap, tiba-tiba, tampak seekor kupu-kupu yang hinggap di ujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu-kupu itu, memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya. ***

Moral cerita :
Mencari kebahagiaan adalah layaknya menangkap kupu-kupu. Sulit, bagi mereka yang terlalu bernafsu, namun mudah, bagi mereka yang tahu apa yang mereka cari. Kita mungkin dapat mencarinya dengan menerjang sana-sini, menabrak sana-sini, atau menerobos sana-sini untuk mendapatkannya. Kita dapat saja mengejarnya dengan berlari kencang, ke seluruh penjuru arah. Kita pun dapat meraihnya dengan bernafsu, seperti menangkap buruan yang dapat kita santap setelah mendapatkannya.

Kita belajar bahwa kebahagiaan tak bisa di dapat dengan cara-cara seperti itu. Kita belajar bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang dapat di genggam atau benda yang dapat disimpan. Bahagia adalah udara, dan kebahagiaan adalah aroma dari udara itu. Kita belajar bahwa bahagia itu memang ada dalam hati. Semakin kita mengejarnya, semakin pula kebahagiaan itu akan pergi dari kita. Semakin kita berusaha meraihnya, semakin pula kebahagiaan itu akan menjauh.

Cobalah temukan kebahagiaan itu dalam hatimu. Biarkanlah rasa itu menetap, dan abadi dalam hati kita. Temukanlah kebahagiaan itu dalam setiap langkah yang kita lakukan. Dalam bekerja, dalam belajar, dalam menjalani hidup kita. Dalam sedih, dalam gembira, dalam sunyi dan dalam riuh. Temukanlah bahagia itu, dengan perlahan, dalam tenang, dalam ketulusan hati kita. Saya percaya, bahagia itu ada dimana-mana. Rasa itu ada di sekitar kita. Bahkan mungkin, bahagia itu "hinggap" di hati kita, namun kita tak pernah memperdulikannya. Mungkin juga, bahagia itu berterbangan di sekeliling kita, namun kita terlalu sibuk untuk menikmatinya.
Selanjutnya...

Rumah Makan Mie

Dahulu ada 2 kedai mie di suatu wilayah yang bersaing. Satunya menjual mie Bangka, satunya menjual mie Makassar. Kedua kedai mie tersebut sangat hebat dalam meramu bumbu-bumbu masakan mereka sehingga para pelanggan puas dan banyak yang menjadi langganan, kemampuan keduanya dalam memasak mie sama-sama hebatnya dan sangat terspesialisasi sehingga para pelanggan di daerah tersebut sangking ngilernya jadi gantian makan di kedua kedai yang berlainan setiap harinya. Para pelanggan tidak dapat menjawab ketika ditanya "Mie mana yang lebih enak?" karena kedua-duanya sangat enak.

Namun, pada suatu hari si penjual Mie Makassar berpikir, "Sekarang pelanggan kami berdua sama banyaknya, kalau saya mampu membuatnya keluar dari bisnis, pasti pelanggan mereka akan pindah ke saya sehingga keuntungan saya bisa jadi 2 kali lipat!" Pemikiran yang cukup logis namun agak serakah. Lalu, dilakukanlah berbagai cara oleh si pengusaha mie ini mulai dari mensabotase sampai menuduh si pengusaha mie Bangka menggunakan formalin berlebihan untuk membuat mienya. Dengan sedikit sogokan, maka kedai mie Bangka pun tutup dan tamat riwayatnya. Si mie Makassar melaju sendirian di bisnis kedai mie untuk wilayah itu.

Rencananya sudah berhasil, namun pelanggan Mie Makassar tidak bertambah dan juga tidak berkurang. Malah lama kelamaan berkurang. Lalu si pemilik kedai berpikir, "mengapa? Bukankah aku satu-satunya pemilik kedai mie di daerah ini?" Selidik punya selidik, ternyata para penduduk sana sudah jemu dengan mie yang ada. Dahulu, mereka punya pilihan. Kalau bosan dengan mie Makassar, mereka bisa makan mie Bangka... kalau sudah eneg dengan mie Bangka, mereka makan mie Makassar. Namun, karena yang tersedia cuma mie Makassar, maka selera penduduk sekitar sama sekali tidak membantunya.

Pesan : jadi orang jangan serakah

Sumber: http://nothing-possible.blogspot.com/2011/07/mengenai-rumah-makan-mie.html
Selanjutnya...

Kisah Kodok Tuli



Sekelompok kodok sedang berjalan-jalan melintasi hutan. Malangnya, dua di antara kodok tersebut jatuh kedalam sebuah lubang. Kodok-kodok yang lain mengelilingi lubang tersebut. Ketika melihat betapa dalamnya lubang tersebut, mereka berkata pada kedua kodok tersebut bahwa mereka lebih baik mati.

Kedua kodok tersebut tidak mempedulikan komentar-komentar itu dan mencoba melompat keluar dari lubang itu dengan segala kemampuan yang ada. Kodok yang lainnya tetap mengatakan agar mereka berhenti melompat dan lebih baik mati.

Akhirnya, salah satu dari kodok yang ada di lubang itu mendengarkan kata-kata kodok yang lain dan menyerah. Dia terjatuh dan mati. Sedang kodok yang satunya tetap melanjutkan untuk melompat sedapat mungkin. Sekali lagi kerumunan kodok tersebut berteriak padanya agar berhenti berusaha dan mati saja. Dia bahkan berusaha lebih kencang dan akhirnya berhasil.

Dengan sebuah lompatan yang kencang, dia berhasil sampai di atas. Kodok lainnya takjub dengan semangat kodok yang satu ini, dan bertanya : "Apa kau tidak mendengar teriakan kami ?". Lalu kodok itu (dengan membaca gerakan bibir kodok yang lain) menjelaskan bahwa ia tuli.

Akhirnya mereka sadar bahwa saat di bawah tadi mereka dianggap telah memberikan semangat kepada kodok tersebut.

Moral cerita :
Kata-kata positif yang diberikan pada seseorang yang sedang "jatuh" dapat membuat orang tersebut bangkit dan membantu mereka dalam menjalani hari-hari. Sebaliknya, kata-kata buruk yang diberikan pada seseorang yang sedang "jatuh" dapat membunuh mereka. Hati hatilah dengan apa yang anda ucapkan.

Suarakan 'kata-kata kehidupan' kepada mereka yang sedang menjauh dari jalur hidupnya. Kadang-kadang memang sulit dimengerti bahwa 'kata-kata kehidupan' itu dapat membuat kita berpikir dan melangkah jauh dari yang kita perkirakan.

Semua orang dapat mengeluarkan 'kata-kata kehidupan' untuk membuat rekan dan teman atau bahkan kepada yang tidak kenal sekalipun untuk membuatnya bangkit dari keputus-asaanya, kejatuhannya, kemalangannya.

Sungguh indah apabila kita dapat meluangkan waktu kita untuk memberikan spirit bagi mereka yang sedang putus asa dan jatuh.

Sumber: http://www.ciungtips.com/2011/09/kisah-motivasi-kodok-yang-tuli.html
Selanjutnya...

Kisah Keledai Cerdik

Pada suatu hari, ada keledai milik seorang petani jatuh ke dalam sumur. Hewan itu menangis dengan memilukan selama berjam-jam, semetara si petani memikirkan apa yang harus dilakukannya.

Akhirnya, ia memutuskan, karena hewan itu sudah tua dan sumur juga perlu ditimbun (ditutup - karena berbahaya), maka tidak berguna untuk menolong si keledai. Ia mengajak tetangga-tetangganya untuk datang membantunya. Mereka membawa sekop dan mulai menyekop tanah ke dalam sumur.

Pada mulanya, ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian. Tetapi kemudian, semua orang takjub, karena si keledai menjadi diam. Setelah beberapa sekop tanah lagi dituangkan ke dalam sumur, si petani
melihat ke dalam sumur dan tercengang karena apa yang dilihatnya. Walaupun punggungnya terus ditimpa oleh bersekop-sekop tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan. Ia mengguncang-guncangkan badannya agar
tanah yang menimpa punggungnya turun ke bawah, lalu menaiki tanah itu.

Sementara para tetangga si petani terus menuangkan tanah kotor ke atas punggung hewan itu, si keledai terus juga menguncangkan badannya dan melangkah naik. Segera saja, semua orang terpesona ketika si keledai meloncati tepi sumur
dan melarikan diri !

Moral cerita :
Kehidupan terus saja menuangkan tanah dan kotoran kepadamu. Segala macam tanah dan kotoran. Cara untuk keluar dari 'sumur' (kesedihan, masalah, dsb) adalah dengan menguncangkan segala tanah dan kotoran dari diri kita (pikiran, dan hati kita) dan melangkah naik dari 'sumur' dengan menggunakan hal-hal tersebut sebagai pijakan.

Setiap masalah-masalah kita merupakan satu batu pijakan untuk melangkah. Kita dapat keluar dari 'sumur' yang terdalam dengan terus berjuang, jangan pernah menyerah ! Guncangkanlah hal negatif yang menimpa dan melangkahlah naik !!!

Sumber: http://duniaspesial.blogspot.com/2013/10/cerita-keledai-cerdik.html
Selanjutnya...

Mengejar Dua Kelinci

Seorang murid seni bela diri menghampiri gurunya dan mengajukan sebuah pertanyaan, "Guru, saya mau meningkatkan kemampuan bela diri saya. Disamping belajar dari Guru, saya hendak belajar dari Guru lain supaya bisa belajar jurus lain. Apa pendapat Guru tentang hal itu?"

Sang Guru pun berkata: "Pemburu yang mengejar dua ekor kelinci tidak akan mendapat apa-apa."

kisah ini dikutip dari buku "Accelerate Your Success with Zen"
Selanjutnya...

Sabtu, 11 April 2009

Belajar Ilmu Pedang

Seorang pemuda ingin menguasai ilmu pedang. Ia mendengar ada guru ilmu pedang yang sangat tersohor dan tak pernah terkalahkan. Guru itu kini menjadi pertapa dan tinggal di puncak gunung tinggi. Karena tekadnya begitu tinggi, ia lalu melakukan perjalanan jauh, mendaki gunung terjal tempat guru ilmu pedang itu bertapa.

Akhirnya ia menemukan guru ilmu pedang yang tampak tua, kurus namun penuh wibawa. "Guru, ijinkan hamba belajar ilmu pedang dari guru." Sang Guru mengangguk-angguk.
Tanya anak muda, "Jika hamba belajar dengan tekun, berapa lama waktu yang diperlukan agar bisa menguasai ilmu pedang?" Jawab guru, "Hemm, barangkali sepuluh tahun"

Tanya anak muda, "Guru, ayah hamba sudah tua dan hamba harus merawatnya. Hamba tak bisa meninggalkannya lama-lama. Jika hamba berlatih lebih giat lagi, berapa lama saya bisa berhasil?" Jawab guru, "Hemm, kalau begitu, bisa jadi dua puluh tahun."

Anak muda ini terkejut mendengar jawaban gurunya. Keringatnya mulai bercucuran. Ia bertanya penuh keheranan, "Tadi guru menyebut sepuluh tahun, lalu dua puluh tahun. Begini saja guru, hamba bersedia melakukan apa saja, menempuh jalan sesulit apa pun, asal saya dapat menguasainya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Berapa lama waktu yang saya perlukan?" Jawab guru sambil terkekeh-kekeh, "Kalau yang ini, kau akan memerlukan tiga puluh tahun."

Pemuda itu menjadi frustasi."Mengapa setiap kali saya memberitahu anda bahwa saya akan bekerja lebih keras untuk mencapai tujuan saya, Anda memberitahu saya bahwa akan diperlukan waktu yang lebih lama? " tanya pemuda itu, "Jawabannya jelas" kata sang guru. "Dengan satu mata terfokus pada imbalan, hanya tersisa satu mata untuk terfokus pada tujuanmu."

kisah ini dikutip dari buku "Simplify your life with Zen"
Selanjutnya...

Lepaskan Kepalanmu

Di suatu hutan,
hiduplah sekelompok monyet.

Pada suatu hari, tatkala mereka tengah bermain,
tampak oleh mereka sebuah toples kaca berleher panjang dan sempit yang bagian bawahnya tertanam di tanah.

Di dasar toples itu ada kacang yang sudah dibubuhi dengan aroma yang disukai monyet. Rupanya toples itu adalah perangkap yang ditaruh di sana oleh seorang pemburu.

Salah seekor monyet muda mendekat dan memasukkan tangannya ke dalam toples untuk mengambil kacang-kacang tersebut. Akan tetapi tangannya yang terkepal menggenggam kacang tidak dapat dikeluarkan dari sana karena kepalan tangannya lebih besar daripada ukuran leher toples itu. Monyet ini meronta-ronta untuk mengeluarkan tangannya itu, namun tetap saja gagal.

Seekor monyet tua menasihati monyet muda itu: “Lepaskanlah kepalanmu atas kacang-kacang itu! Engkau akan bebas dengan mudah!” Namun monyet muda itu tidak mengindahkan anjuran tersebut, tetap saja ia bersikeras menggenggam kacang itu.

Beberapa saat kemudian, sang pemburu datang dari kejauhan. Sang monyet tua kembali meneriakkan nasihatnya: “Lepaskanlah kepalanmu sekarang juga agar engkau bebas!” Monyet muda itu ketakutan, namun tetap saja ia bersikeras untuk mengambil kacang itu. Akhirnya, ia tertangkap oleh sang pemburu.

Demikianlah, kadang kita juga sering mencengkeram dan tidak rela melepaskan hal-hal yang sepatutnya kita lepaskan: kemarahan, kebencian, iri hati, ketamakan, dan sebagainya. Apabila kita tetap tak bersedia melepas, tatkala kematian datang “menangkap” kita, semuanya akan terlambat sudah.

Bukankah lebih mudah jika kita melepaskan setiap masalah yang lampau, dan menatap hari esok dengan lebih cerah? Bukankah dunia akan menjadi lebih indah jika kita bisa melepaskan “kepalan” kita dan membagi kebahagiaan dengan orang lain?

Sumber: http://myemergencyimagination.wordpress.com/2014/08/28/2/
Selanjutnya...

Noda Hitam di Atas Kertas Putih



Di sebuah desa, tinggallah sebuah keluarga bersama anak tunggal mereka. Karena anak semata wayang, si anak cenderung manja. Orang tuanya sering menasehati kebiasaannya yang kurang baik itu. Terutama kebiasaannya menyalahkan orang lain, entah kawan ataupun orang tuanya sendiri. Anak itu pandai mencari-cari dan menunjukkan kesalahan orang lain, bahkan kadang hanya bertujuan untuk mempermalukan orang yang berbuat salah walaupun tanpa sengaja.

Suatu hari, karena kurang hati-hati anak tersebut terjatuh. Segera dia berteriak ke ayahnya dan menyalahkannya karena meletakkan ember sembarangan.

Kemudian ayahnya berkata, “Bukan salah ayah atau embernya, karena ember tsb setiap hari berada ditempatnya. Itu terjadi karena kamu kurang berhati-hati”.

Dengan bersungut-sungut si anak pergi begitu saja.

Pada suatu ketika, si anak berjalan-jalan di pinggir hutan. Di tengah hutan, matanya tertuju pada sekelompok lebah yang mengerumuni sarangnya.

“Wah, madu lebah itu pasti enak dan menyehatkan badan. Aku akan usir lebah-lebah itu dan mengambil madunya !”.

Maka, ia pun mengambil sebatang bambu dan mulai menyodok sarang lebah dengan keras. Ribuan lebah merasa terusik dan berbalik menyerang si anak. Melihat binatang kecil yang begitu banyak beterbangan ke arahnya, segera dia berlari terbirit-birit. Lebah-lebah yang marah pun mengejar dan mulai menyengat.

“Aduh… tolong…tolong,” anak itu berusaha lari dan menghindar.
Ketika tiba di tepi sungai, segera dia menceburkan diri ke sana. Tak lama kemudian, lebah-lebah itu pergi meninggalkan buruannya yang basah kuyup dan kesakitan. Dari kejauhan, mendengar teriakan anaknya, sang ayah bergegas berlari mendatangi untuk menolongnya.

Setibanya di sana, si anak dengan muka kesal dan nada marah berkata keras ke ayahnya,

”Mengapa ayah tidak segera menolongku ?”.

“Lihat bajuku basah kuyup, badanku sakit terkena sengatan lebah !”.

“Seandainya ayah sayang padaku, pasti sudah berusaha menyelamatkanku sehingga aku tidak perlu mengalami hal seperti ini “.

“Semua ini salah Ayah!” .

Sang ayah yang berniat menolong menjadi terdiam kaget dan menghela napas. Mereka pun berjalan pulang ke rumah bersama sambil berdiam diri.

Malam harinya, menjelang tidur, sang ayah menghampiri anaknya sambil membawa selembar kertas putih dan berkata,

”Anakku, apa yang kamu lihat dari kertas ini?”

Setelah memperhatikan sejenak si anak menjawab,

”Itu hanya kertas putih biasa, tidak ada gambar !”.

“Kenapa ayah menanyakan?”.

Tanpa menjawab, ayahnya menggunakan sebuah bolpen untuk membuat sebuah titik hitam di kertas putih itu.

” Sekarang , apa yang kamu lihat dari kertas putih ini?”.

”Ada gambar titik hitam di kertas putih itu !”, jawab si anak keheranan.

”Anakku, mengapa engkau hanya melihat satu titik hitam pada kertas putih ini?”.

“Padahal sebagian besar kertas ini berwarna putih”.

“Ketahuilah anakku, kertas ini sama seperti cara pandangmu”.

“Betapa mudahnya kamu melihat kesalahan Ayah maupun orang lain, padahal masih begitu banyak hal-hal baik yang telah Ayah dan orang lain lakukan kepadamu”.

“Semua kebaikan orang lain, seberapa besar pun seakan-akan tidak ada artinya, sebab engkau hanya melihat dan memperhatikan noda hitam itu, yakni kesalahan orang, yang walau sekecil apa pun menjadikanmu marah-marah dan tidak senang hati”.

“Sikapmu sungguh tidak terpuji dan harus kau ubah !”.

“Kesialan yang datang padamu karena ketidak hati-hatianmu, jangan limpahkan kekesalanmu kepada orang lain”.

kisah ini dikutip dari salah satu cerita yang dikisahkan oleh Andrie Wongso

Sumber: http://www.andriewongso.com/articles/details/5462/Noda-Hitam-di-Atas-Kertas-Putih
Selanjutnya...

Gigi Kalah dengan Lidah

Setelah mengetahui bahwa pembimbingnya, Chang Cong, sakit keras, Lao Tzu mengunjunginya. terlihat jelas bahwa Chang Cong mendekati akhir hidupnya.
"Guru, apakah Guru mempunyai kata-kata bijak terakhir untukku?" kata lao Tzu kepadanya.

"Sekalipun kamu tidak bertanya, aku pasti akan mengatakan sesuatu kepadamu," jawab Chang Cong.

"Apa itu?"
kamu harus turun dari keretamu bila kamu melewati kota kelahiranmu."

"Ya, Guru. Ini berarti orang tidak boleh melupakan asalnya."

"Bila kamu melihat pohon yang tinggi, kamu harus maju dan mengaguminya."

"Ya Guru. Ini berarti saya harus menghormati orang yang lebih tua."

"Sekarang, lihat dan katakan apakah kamu dapat melihat lidahku," kata Chang Cong, menundukkan dagunya dengan susah payah.
"ya."

"Apakah kamu melihat gigiku?"
"Tidak. Tak ada gigi yang tersisa."
"kamu tahu kenapa?" tanya Chang Cong

"Aku rasa," kata Lao Tzu setelah berpikir sejenak, " lidah tetap ada karena lunak. Gigi rontok karena mereka keras. benar tidak?"

"Ya, anakku,'''' angguk Chang Cong."Itulah kebijaksanaan di dunia. Aku tidak punya apa - apa lagi untuk diajarkan kepadamu."

"Tidak ada sesuatupun di dunia yang selunak air. Namun tidak ada yang mengunggulinya dalam mengalahkan yang keras. Yang lunak mengalahkan yang keras dan yang lembut mengalahkan yang kuat. setiap orang tahu itu, tapi sedikit saja yang mempraktikkannya."
Selanjutnya...

Senin, 06 April 2009

Tersenyumlah walau itu berat dalam hidupmu

Alkisah Ada seorang Sanggha bernama Chi kung, ia sangat berbeda dengan sangha lainnya yang berlatih diri dan sebagainya, malah ia banyak sekali pelanggarannya seperti makan daging dan minum arak, selain itu ia memakai jubah biksu yang compang camping mirip seorang pengemis dari pada sangha, tidak seperti sangha lain yang diam di kuil dan bermeditasi, malahan ia turun ke jalan menolong umat Buddha dalam kesusahan.

Suatu saat Chi kung melihat Sebuah toko dan sipemiliknya, Chi kung berlagak meminta sedekah kepada si pemilik toko tersebut, dia melihat si pemilik toko adalah seorang yang pengagum Buddha Maitreya atau Milefo atau Buddha Tertawa, Chi kung mendekati si pemilik toko " Amitabha, Bisakah Saya Meminta sedekah kepada anda ?", Si pemilik Toko dengan muka Termenyut dan terlihat Judes dan berkata Sinis dan berteriak " TIDAK ADA". Lalu Chi kung berpura -pura keluar dari toko tersebut sambil duduk dipingiran tokonya sambil pura- pura tidur. Si pemilik Toko merasa jengkel dan kesal melihat Tingkah laku Chi kung. Diacuhkannya, sampai kemudian Sore Si pemilik toko merasa Toko nya Sepi dan Dia selalu sembahyang kepada Buddha Tertawa setiap waktunya agar tokonya ramai dan bisa dikunjungi , tapi ngak ada yang mau datang.

Melihat Tingkah si Pemilik Toko, Chi kung Tertawa terbahak - bahak,
Lalu si pemilik Toko merasa jengkel sama Tingkah Chi kung dan berkata " Kenapa Kamu ketawa", lalu Chi kung berkata " Gimana saya tidak bisa tertawa, melihat diri mu, Setiap waktu kamu selalu sembahyang kepada Buddha Maitreya meminta rejeki, tapi kamu ngak pernah tau kesalahan kamu sendiri. Lihat lah diri mu itu Buddha maitreya saja Selalu Terseyum dan tertawa, bagaimanapun orang hendak mencaci maki dirinya, memujinya, bahkan orang mau berkata tentang dirinya baik buruknya, ia selalu tertawa, Ketika pengunjung toko datang ketempat mu dia melihat Buddha Tertawa maka ia bisa merasa Senang, Tapi pas melihat diri mu setiap kali memasang muka judes, kasar, tidak memperlihatkan wajah mu, dengan gembira, malahan bermuram Durja, bagaimana orang mau datang ke toko mu, kamu semestinya bisa belajar dari Buddha tertawa, Bagaimana pun diri mu, kamu harus tersenyum dan gembira, maka semua rejeki bisa datang kepada mu". Ketika si pemilik toko mendengarkan darmadesana dari Chi kung, Ia kaget, dan kemudian ia mencoba tersenyum dan berusaha menjadi ramah. Semenjak itu Tokonya menjadi Ramai pengunjung lagi.

Intinya adalah merasa diri bahagia walau itu berat didalam diri kita, hadapi Dengan Senyuman manis, dan merasa bahagia. Keep Smile upon U

Sabbe Sattha Bhavantu Sukkhita
Taddhaya Gate - Gate Paramgate Parasamgate Bodhisuava
Selanjutnya...