Selasa, 29 September 2015

Berdamai dengan diri sendiri (Cerita Zen)



Ada seorang dokter militer yang mengikuti pasukan ke medan perang. Ia mengobati tentara yang terluka di medan perang.

Bila pasiennya sembuh dari luka, mereka di kirim kembali untuk bertempur. Akibatnya, mereka terluka lagi, lalu terbunuh.

Setelah melihat skenario ini berulang-ulang, dokter tersebut akhirnya mengalami patah semangat.

Pikirnya : Bila kondisi seseorang selalu dekat dengan kematian, mengapa aku harus menyelamatkannya ? Bila pengetahuan medisku ada gunanya, mengapa ia pergi ke medan perang dan kehilangan nyawanya.

Dokter tersebut tidak memahami apakah ada artinya ia menjadi dokter militer, dan ia sangat sedih sehingga ia tidak mampun menyembuhkan orang lagi.

Karenanya, ia naik gunung untuk mencari seorang master Zen.

Setelah bersama seorang master Zen selama beberapa bulan ...

Akhirnya, ia mengerti masalah dia sepenuhnya. Ia turun gunung untuk terus berpraktek sebagai dokter.

Katanya : INI KARENA AKU SEORANG DOKTER.

================

Catatan :

Tidak meng-identifikasi diri sendiri dengan sesuatu atau menghubungkan sesuatu dengan "aku" dan mengerti bahwa ide adanya "aku" yang berbeda dari benda lain adalah "noda", itulah kebijaksanaan sejati.

Sumber: http://truthbuddha.blogspot.co.id/2012/03/berdamai-dengan-diri-sendiri-cerita-zen.html
Selanjutnya...

Senin, 21 September 2015

Tiga Orang Bijaksana dan Sup Batu



Pada suatu hari, tiga orang tua yang bijaksana berjalan melintasi sebuah desa kecil. Desa itu tampak miskin. Tampak dari sawah-sawah sekitarnya yang sudah tidak menghasilkan apa-apa lagi. Ya, memang telah terjadi perang di negeri itu - dan sebagai rakyat jelata - merekalah yang kena dampaknya. Macetnya distribusi pupuk, bibit, dan kesulitan-kesulitan lain membuat sawah mereka tidak mampu menghasilkan apa-apa lagi. Cuma beberapa puluh orang yang masih setia tinggal di desa itu. Sekonyong-konyong beberapa orang mengerubuti tiga orang tua yang bijaksana itu.

Dengan memijit-mijit tangan dan punggung tiga orang itu, orang-orang desa memelas dan meminta sedekah, roti, beras, atau apalah yang bisa dimakan. Satu dari tiga orang bijaksana itu lalu bertanya kepada penduduk desa itu, “Apakah kalian tidak punya apa-apa, hingga kalian meminta-minta seperti ini ?” “Kami tidak memiliki apapun untuk dimakan, hanya batu-batu berserakan itu yang kita miliki.” Jawab salah satu penduduk desa. “Maukah kalian kuajari untuk membuat sup dari batu-batu itu ?” tanya orang bijaksana sekali lagi. Dengan setengah tidak percaya, penduduk itu menjawab, “Mau..” “Baiklah ikutilah petunjukku.” Orang bijaksana itu menjelaskan, “Pertama-tama, ambil tiga batu besar itu, lalu cucilah hingga bersih !” perintah orang bijaksana sambil menunjuk tiga buah batu sebesar kepalan tangan. Orang-orang pun mengikuti perintahnya.

Sesudah batu itu dicuci dengan bersih hingga tanpa ada pasir sedikitpun di permukaannya. Orang bijaksana itu lalu menyuruh penduduk untuk menyiapkan panci yang paling besar dan menyuruh panci itu untuk diisi dengan air. Ketiga batu bersih itupun lalu dimasukkan ke dalam panci - dan sesuai dengan petunjuk orang bijaksana itu - batu-batu itupun mulai direbus. “Ada yang dari kalian tau bumbu masak ? Batu-batu itu tidak akan enak rasanya jika dimasak tanpa bumbu.” Tanya orang bijaksana. “Aku tahu !” seru seorang ibu, kemudian ia mengambil sebagian persediaan bumbu dapurnya, kemudian meraciknya, dan memasukkannya kedalam panci besar itu. “Adakah dari kalian yang memiliki bahan-bahan sup yang lain ?” Tanya orang bijaksana itu. “Sup ini akan lebih enak jika kalian menambahkan beberapa bahan lain, jangan cuma batu saja.”

Beberapa penduduk mulai mencari bahan-bahan makanan lain di sekitar desa. Beberapa waktu kemudian dua orang datang dengan membawa tiga kantung kentang. “Kami menemukannya di dekat kali, ternyata ada banyak sekali kentang liar tumbuh disana.” Katanya. Kemudian orang itu mengupas, encuci, dan memotong-motong kentang-kentang itu dan memasukkannya ke dalam panci. Kurang dari satu menit, seorang ibu datang dengan membawa buncis dan sawi. “Aku masih punya banyak dari kebun di belakang halaman rumahku.” Kata ibu itu, lalu ibu itu meraciknya dan memasukkannya ke dalam panci. Sesaat, datang pula seorang bapak dengan tiga ekor kelinci di tangannya. “Aku berhasil memburu tiga ekor kelinci, kalau ada waktu banyak, mungkin aku bisa membawa lebih lagi, soalnya aku baru saja menemukan banyak sekali kawanan kelinci di balik bukit itu.” Dengan bantuan beberapa orang, tiga kelinci itu pun disembelih dan diolah kemudian dimasukkan ke dalam panci.

Merasa telah melihat beberapa orang berhasil menyumbang sesuatu. Penduduk-penduduk yang lain tidak mau kalah, mereka pun mulai mencari-cari sesuatu yang dapat dimasukkan ke dalam panci sebagai pelengkap sup batu. Kurang dari satu jam, beberapa penduduk mulai membawa kol, buncis, jagung, dan bermacam-macam sayuran lain. Tak hanya itu, anak-anak juga membawa bermacam-macam buah dari hutan. Mereka berpikir akan enak sekali jika buah-buah itu bisa dijadikan pencuci mulut sesudah sup disantap.

Ada pula seorang bapak yang membawa susu dari kambing piaraannya, dan ada pula yang membawa madu dari lebah liar yang bersarang di beberapa pohon di desa itu. Beberapa jam kemudian sup batu itu telah matang. Panci yang sangat besar itu sekarang telah penuh dengan berbagai sayuran dan siap disantap. Dengan suka cita, penduduk itu makan bersama dengan lahapnya. Mereka sudah sangat kenyang, hingga mereka lupa ‘memakan’ batu yang terletak di dasar panci.

Tiga orang bijaksana itu hanya tersenyum melihat tingkah para penduduk itu. Dan mereka pun sadar, sekarang waktunya mereka untuk meneruskan perjalanan. Mereka mohon diri untuk meninggalkan desa itu. Sebelum beranjak pergi, seorang bapak sekonyong-konyong memeluk dan menciumi ketiga orang itu sambil berkata, “Terima kasih telah mengajari kami untuk membuat sup dari batu....”

Read more at: http://www.ocidbrass.com/2012/12/tiga-orang-bijaksana-dan-sup-batu.html
Copyright ocidbrass.com Under Common Share Alike Atribution
Selanjutnya...

Kisah Guru Bijak dan Sebuah Toples



Pada suatu waktu, terdapat seorang guru yang bijak. Banyak murid yang datang dari tempat jauh, untuk mendengarkan petuah bijaknya. Pada suatu hari, seperti biasa, para murid berkumpul untuk mendengarkan pelajaran dari sang guru.

Banyak murid mulai datang memenuhi ruang pengajaran. Mereka datang dan duduk dengan tenang dan rapi, memandang ke depan, siap untuk mendengar apa yang dikatakan oleh  sang guru.

Akhirnya sang guru pun datang, lalu duduk di depan para murid-muridnya. Sang guru membawa sebuah toples besar, disampingnya terdapat setumpuk batu kehitaman seukuran genggaman tangan. Tanpa bicara sepatah kata pun, Sang guru mengambil batu-batu tersebut satu persatu, lalu memasukkannya hati-hati ke dalam toples kaca. Ketika toples tersebut sudah penuh dengan batu hitam tadi, sang Guru berbalik kepada para murid, lalu bertanya.

"Apakah toplesnya sudah penuh?"

"Ya guru," jawab para murid, "Benar, toples itu sudah penuh".

Tanpa berkata apa-apa, sang guru mulai memasukkan kerikil-kerikil bulat berwarna merah ke dalam toples itu.Kerikil-kerikil itu cukup kecil sehingga jatuh di sela-sela batu hitam besar tadi. Setelah semua kerikil masuk kedalam toples, sang guru berbalik kepada para murid, lalu bertanya.

"Apakah toplesnya sudah penuh?"

"Ya guru," jawab para murid, "Benar, toples itu sudah penuh".

Masih tanpa berkata apa-apa lagi, kini sang guru mengambil satu wadah pasir halus, lalu memasukkannya ke dalam toples. Dengan mudah pasir-pasir tersebut pun masuk memenuhi sela-sela kerikil merah dan batu hitam. Setelah masuk semua, kini sang guru berbalik kepada para murid, lalu bertanya lagi.

"Apakah toplesnya sudah penuh?"

Sekarang para murid tak terlalu percaya diri menjawab pertanyaan gurunya. Namun terlihat bahwa pasir tersebut jelas memenuhi sela-sela kerikil di dalam toples, membuatnya terlihat sudah penuh. Kali ini hanya sedikit yang mengangguk, lalu menjawab,

"Ya guru," jawab beberapa murid, "Benar, toples itu sudah penuh".

Tetap tanpa berkata apa-apa lagi, sang guru berbalik mengambil sebuah tempayan berisi air, lalu menuangkannya dengan ahti-hati ke dalam toples besar tersebut. Ketika air sudah mencapai bibir toples, kini sang guru berbalik kepada para murid, lalu bertanya lagi.

"Apakah toplesnya sudah penuh?"

Kali ini kebanyakan murid memilih diam, namun ada dua hingga tiga yang memberanikan diri menjawab,

"Ya guru," jawab sedikit murid tersebut, "Benar, toples itu sudah penuh".

Tetap tanpa berkata apa-apa lagi, sang guru mengambil satu kantong berisi garam halus. Ditaburkannya sedikit-sedikit dan hati-hati dari atas permukaan air, garam pun larut, lalu ditambahkan lagi sedikit, demikian seterusnya hingga seluruh garam tersebut habis larut dalam air. Kini sang guru menghadap kepada par amurid, dan sekali lagi bertanya, "Apakah toplesnya sudah penuh?"

Kali ini semua murid benar-bnar diam. Hingga akhirnya seorang murid yang berani menjawab, "Ya guru, toples itu sekarang sudah penuh".

Sang guru menjawab, "Ya benar, toples ini sekarang sudah penuh".

Terkadang kita sudah merasa memberikan usaha terbaik kita untuk mencapai impian kita, akan tetapi, seperti halnya cerita toples di atas, akan selalu ada celah yang bisa kita tambahkan untuk memberikan usaha yang maksimal dalam mencapai impian kita yang belum tercapai.

Sumber: http://www.kisahinspirasi.com/2013/01/kisah-guru-bijak-dan-sebuah-toples.html
Selanjutnya...

Minggu, 20 September 2015

Sang Hakim Bijaksana

Hakim Bijaksana

Ia adalah Hakim Leonardo. Hakim yang bijaksana. Hakim ini selalu mendengar laporan dengan teliti. Seorang pengemis atau pangeran, sama di hadapannya.

Siapapun yang bersalah akan dikenakan hukuman yang semestinya.

Suatu hari Hakim Leonardo memimpin sidang kasus pencurian. Seorang laki-laki bernama Argus berhasil masuk ke rumah seorang yang kaya dan mengambil dua bungkus roti.

Sialnya, saat sudah sampai di luar rumah, ia ditangkap oleh tiga orang kebetulan lewat di samping rumah orang kaya itu.

“Kenapa kau mencuri roti itu?” sang hakim bertanya penuh wibawa. Argus tertunduk.

“Saya mencuri karena terpaksa. Saya ingin bekerja, tapi tidak ada yang memberi saya pekerjaan. Malam itu keluarga saya benar-benar kelaparan. Sudah dua hari kami tidak makan apapun. Hanya minum air putih.”

Hakim Leonardo menanyakan keterangan itu pada istri Argus. Istrinya membenarkan hal tersebut.

Sang hakim merenung sejenak.

“Baiklah, kali ini kau memang berkata jujur. Aku sudah memerintahkan petugas pengadilan untuk menyelidiki tempat tinggalmu. Kau memang benar-benar miskin.”

Beberapa saat kemudian Hakim Leonardo berkata lagi, “Waktu itu kau punya kesempatan untuk mencuri benda lain yang lebih berharga, tapi kenapa kau hanya mencuri roti itu?”

“Saya hanya memerlukan roti, untuk keluarga saya yang kelaparan. Saya tidak memerlukan benda yang lain.”

“Benarkah tak ada benda yang dicuri?” Hakim Leonardo bertanya pada pemilik rumah. Pemilik rumah terdiam sejenak. Ia ingin mengaku bahwa ada benda lain yang dicuri.

Namun ia teringat,  Hakim Leonardo sangat jeli. Bisa-bisa malah ia dituntun balik. Akhirnya pemilik rumah menjawab, “Tidak, Yang Mulia. Benar yang dikatakannya. Dia hanya mencuri dua bungkus roti.”

Hakim menimbang-nimbang. Mungkin sedang memperhitungkan hukuman untuk si pencuri. Di kerajaan itu, hukuman untuk pencurian ditentukan oleh nilai benda yang dicuri.

Juga alasannya. Karena Argus hanya mencuri dua bungkus roti, itu pun karena terpaksa, maka Argus hanya diminta membayar denda.

Mendengar jumlah denda yang harus dibayarnya, Argus terbelalak.  “Yang Mulia, kalau saya punya uang sebanyak itu, saya tidak perlu mencuri roti. Uangnya akan saya belikan makanan untuk keluarga saya.”

Sang hakim tersenyum. “Tentu saja aku tahu memang seperti itu. Tapi hukum tetaplah hukum. Kau tetap harus membayar denda.”

Argus kian tertunduk sedih. Bagaimana aku bisa membayar denda itu? Pikirnya gundah.

“Tapi biarlah kali ini aku yang akan membayar dendanya,” ujar sang hakim tiba-tiba.

Sang pencuri terperangah. “Benarkah Yang Mulia?” tanyanya terbata.

“Tentu saja,” jawab Hakim Leonardo. Dekeluarkannya sebuah kantong dan diambilnya sejumlah uang untuk membuktikan ucapannya. Petugas pengadilan menerimanya dengan terkejut.

“Pria ini pria yang jujur. Aku percaya, dia tidak akan mencuri jika tidak terpaksa. Aku yakin kejadian ini membuatnya tidak akan mengulangi perbuatannya.”

Orang-orang yang menonton jalannya persidangan berbisik-bisik. Lalu mereka mengangguk-angguk setuju. Sekali lagi orang-orang dibuat kagum dengan kebijaksanaannya.

“Dengarlah ini, Argus. Bukan berarti akan selalu ada orang yang bersedia menggantikan hukumanmu. Karena itu kau pasti belajar kali ini. Jangan ulangi perbuatan itu lagi, apapun alasannya,” nasihat sang hakim pada Argus.

Argus mengangguk mendengar nasihat Hakim Leonardo. Ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan buruknya kembali. Mungkin karena terharu, ia sampai menangis.

“Saudara-saudara,” kata Hakim Leonardo pada orang banyak, “Keluarga saudara kita ini sedang kelaparan. Kalau saudara-saudara tidak keberatan, silakan menyumbang serela anda.”

Orang-orang menuruti permintaan Hakim Leonardo. Terkumpulkan uang yang cukup banyak untuk laki-laki tersebut.

Seseorang pengunjung sidang maju ke depan hakim dan berkata, “Yang Mulia, teladan anda hari ini sungguh mulia. Biarlah orang ini bekerja pada saya. Kebetulan saya memang sedang memerlukan seseorang untuk menggantikan pegawai saya yang berhenti.”

Argus memandang orang yang baru saja menawarkan pekerjaan itu dengan penuh terima kasih. Hakim Leonardo tersenyum.

Hari ini ia telah menyentuh hati banyak orang. Orang-orang pasti akan semakin mengaguminya. Sikap rela berkorbannya demikian menggugah hati banyak orang.

Orang-orang yang menonton pengadilan itu juga menjadi sadar bahwa masih banyak orang-orang di sekitar mereka yang membutuhkan uluran tangan.
Oleh: Novie Indriyani
Bobo No. XXXI
Selanjutnya...